Sunday, October 3, 2010

Satu Lagi yang Pergi


20:20 WIB
Sunday, September 19th ‘10th


Minal Aidzin Walfa Idzin, mohon maaf lahir dan batin. Memang kata itulah yang seharusnya kuucapkan sebelum memulai pembicaraan kita hari ini. Maaf kalau terlambat 9 hari mengucapkannya. Karena sejak hari pertama Idul Fitri sampai kemarin aku selalu penuh agenda. Hehehe, bukan sok sibuk lho…
Sejak saat itu sampai sekarang banyak sekali hal-hal menyenangkan yang aku alami. Tapi ada juga hal menyebalkan yang entah kenapa tak bisa tinggal diam melihat kesenanganku. Seperti kemarin aku sempat bermasalah dengan orangtua, sampai-sampai berhenti komunikasi selama dua hari. Berat juga sih, tapi syukur semuanya telah berakhir.
Tapi, bukan semua hal di atas yang akan menjadi pokok bahasan kita kali ini. (Apa? Itu hanya kata pembuka?). Hari ini, dewa perpisahan kembali menuliskan takdir yang paling tidak kusukai sejak pertama kali aku mengenal arti ikatan. Satu lagi temanku pergi. Memang sih, dia masih berada di kota ini, tapi kami tidak akan bertemu selama 6 bulan terakhir. Bahkan komunikasi pun harus terputus karena benda elektronik bernama handphone adalah larangan besar baginya dalam 6 bulan ini. Namanya Putra. Entahlah! Aku tidak ingat. Tapi sepertinya aku memang belum pernah menceritakannya. Rumahnya hanya beberapa langkah jika lewat belakang rumahku. Aku memang belum begitu lama akrab dengannya, walaupun sudah cukup lama aku berteman dengannya (sejak Perisai dibuka). Mulai akrab dengannya? Mungkin sejak aku bermasalah dengan Bang Lam dan Bang Shu. Sejak saat itu kami selalu kumpul bersama. Entah itu sekedar ngobrol sambil bercanda, jalan-jalan, makan di warung, atau hal-hal lain yang belum terucapkan. Benar! Pengertian kumpul bersama berarti bukan cuma kami berdua. Banyak juga teman yang lain, sekitar 4 lagi yang sering bergabung dengan kami. Tapi mereka masih lebih muda dari kami, masih duduk di bangku SMP. Bisa dibilang, kami berdualah yang paling tua. Aku bahagia sekali berteman dengan mereka. Bahkan sama bahagianya dengan ketika aku berteman dengan penghuni XII IPA 1 di MAN Kisaran. Walaupun kedua kelompok itu benar-benar bertolak belakang sih. Jika XII IPA 1 adalah kelompok religius, mereka malah sebaliknya yang bisa dibilang kelompok berandal. Tapi tetap saja aku menganggap mereka The Best.
Oh, iya. Aku belum memberitaumu apa sebenarnya penyebab Putra pergi kan? Putra kuliah di Akper Yagma Kisaran. Dan selama enam bulan ini dia harus tetap berada di asrama sebagai calon mahasiswa Yagma. Selama masa pelatihan itu berarti komunikasi kepada siapapun selain yang ada di Yagma itu sendiri harus terputus. “Dilarang membawa Handphone” itu tandanya. Aku juga khawatir. Bukan karena dia anak IPS yang memilih jalur yang berbeda dengan menjadi perawat, tapi apa mungkin dia bisa bertahan selama enam bulan tanpa handphone? Aku kenal pria penggila SMS itu. Bahkan sewaktu di mesjid pun tangannya sempat mengetik tombol-tombol angka dan huruf di handphonenya. Fufufu… Semoga tahan di sana ya, Put…
Tau yang membuatku terkesima? Tadi pagi sebelum berangkat, Putra datanag ke rumahku. Ya, dia berpamitan padaku. Setelah mengucapkan “assalamu’alaikum” dan bilang “aku pigi ya bro”, dia langsung merangkulku yang saat itu sedang terduduk memangku adikku. Aku terkejut walaupun hanya sejenak. Aku lihat matanya berbinar. Aku tau dia sedang dalam keadaan yang tak pernah kubayangkan. Aku yakin dia menangis. Dengan hidung merah seperti badut tanpa kostum dia keluar dan menaiki sepeda motornya entah kemana. Sepertinya akan berpamitan dengan yang lain. Aku tak pernah menyangka pria seperti dia memaknai sebuah ikatan hampir sama seperti aku memaknainya. Aku tak mengira ternyata cerita bahwa dia menangis di dalam bus sewaktu mengikuti seleksi masuk TNI itu bisa kupercaya sekarang. Aku kira hanya aku yang memaknai persahabatan sampai seperti itu. Sekarang, aku jadi bertambah sedih berpisah dengannya. 6 bulan tanpa guyonnya? 6 bulan tanpa leluconnya? Dan 6 bulan tanpa berkumpul bersamanya? Apa aku sanggup? Belum lagi saat menyaksikan kesedihan adiknya yang jadi kehilangan teman sekamar. Hebat keakraban abang beradik ini, kupikir. Rasanya takdir terlalu kejam memisahkan mereka.
Ya, inilah perpisahan. Monster paling dibenci oleh hampir semua orang, tapi tak pernah malu untuk muncul berkali-kali. Perpisahan memang kejam, sakit, dan mengharukan, tapi tetap saja tidak akan ada kehidupan tanpa perpisahan. Sekarang benar-benar kusadari bahwa setiap hal menyenangkan dalam hidupku tidak pernah berlangsung lama. Ya, baru ramadhan kemarin kurasakan indahnya bergaul dengan mereka, kami malah terpisah di bulan syawal. Ah, sudahlah! Kita hanya bisa pasrah pada nasib.
Hah? Pesan untuk Putra? Apa ya? Mungkin…
“Put, hati-hati disana ya! Jangan terlalu sering bercanda disana. Ini mungkin akan sulit karena kau anak IPS yang asing dengan Biologi atau Kimia. Tapi kau tak boleh menyerah! Selalu ada jalan untuk orang yang mau berusaha. Soal yang disini, jangan terlalu dipikirkan. Kau hanya perlu mengingat kami, tidak lebih! Karena aku akan berusaha menggantikanmu. Walau aku tak sehebat kau, tapi aku akan tetap jadi teman adikmu, Edi, Nuri, Rudi, dan semua temanmu yang kukenal. Mungkin aku akan kesusahan menghadapi kepolosan, kenakalan, keanehan, dan kelucuan mereka. Aku akan mengawasi perkembangan anak-anak itu dalam enam bulan terakhir. Mengawasi kenakalan Nuri yang masih terlalu polos, mengamati perkembangan tubuh Edi yang semakin lama semakin melebar, memedomani Rudi yang baru saja dapat pacar, dan menemani Bagus-adikmu yang kesepian. Kalau kukatakan, aku benar-benar sedih berpisah denganmu yang begitu aneh dan lucu. Mungkin lebih sedih dari Disty yang sekarang menjadi pacar berhargamu. Karena sejak kau berpamitan denganku sampai sekarang, aku selalu memikirkanmu sebagai seorang sahabat yang merindukan sahabatnya yang jauh. Jangan menangis terlalu dramatis! Karena aku akan meneteskan airmata karena tertawa begitu heran membayangkanmu yang begitu gila. Dan satu hal terpenting, jangan berubah saat kau kembali! Segera temui semua temanmu disini ketika kau sudah menapakkan kakimu di Binjai Manis.”
By : Teman yang menganggapmu sebagai sahabat yang istimewa, Arief…
Mungkin itu saja. Terlalu panjang ya? Aku cuma mau balas dendam karena sudah lama tidak menuliskan kisahku. Hahaha…

Arema : Semoga_gak_ada_lagi_yang_pergi_setelah_ini…

No comments:

Post a Comment