Monday, September 27, 2010

Hari Pertama di Medan


06:25 WIB
Tuesday, June 15th ‘10th


Permintaan maafku untuk Barn karena kemarin tiba-tiba memutuskan pembicaraan kita. Tapi, bukan maksudku melakukannya. Kemarin, sebelum usi berbicara denganmu, aku diajak untuk melaksanakan kewajibanku sebagai seorang muslim, yaitu Sholat. Inilah salah satu keuntungan tinggal bersama orang yang selalu mengingatkan. Tidak mungkin kan aku menolaknya? Seusai sholat, aku bermaksud untuk menyambung pembicaraan kita, tapi aku kembali diajak untuk ikut andil dalam acara tahlilan 7 hari tetangga Bang Fian yang meninggal. Katanya sih itu rezekinya anak kos. Ya, aku bicara tentang makanan atau yang biasa kusebut berkat. Aneh kan? Orang kemalangan kok dibilang rezeki. Akhirnya, aku memutuskan untuk menyambung pembicaraan kita tengah malam setelah mereka tertidur. Tapi, aku malah lebih dulu tidur daripada mereka. Jadi, itulah alasannya, Barn. (Semoga dia tidak marah).
Banyak sekali hawa asing yang tercium olehku di tempat ini. Dan aku masih berusaha untuk beradaptasi disini. Menurutmu, cocok atau tidak kalau orang seperti aku tinggal di ibukota? Tapi apa yang paling kuharapkan dari sekian ribu keasingan disini adalah kesenangan yang bisa kudapat. Aku ingin kuliah di Medan ini tujuan utamanya memang untuk ilmu, tapi jarak tipis di belakangnya adalah kesenangan pribadi yang tidak bisa kudapatkan di kota asal.
Aku menatap senyuman mentari yang mengintai di balik tumpukan awan kelabu hari ini. Mengharapkan sekuntum harapan yang hadir bersama sejuknya udara pagi hari. Walaupun sedikit pilek, aku tetap saja bisa mencium aromanya. Sekarang, di sebelah kananku bisa kau lihat kubah mesjid yang menjulang tinggi menyentuh bulan dan bintang. Karena sekarang aku sedang berada di lantai 2. (Dari dulu aku menginginkannya). Di depanku tampak kendaraan berseliweran melewati lahan pemakaman yang cukup luas. Kalau memandang ke bawah, kau akan melihat genteng rumah orang yang sudah tampak terkena korosi. Tak lupa bangunan politingkat juga terlihat dimana-mana. Tapi, tak ada yang cukup megah karena tempat kost Bang Fian termasuk daerah plosok yang jarang dikenali (unknown). Tapi, tetap saja menarik buatku.
Oh ya, aku ingin menceritakan tentang kereta api kemarin. Ini pengalaman pertamaku naik kereta api. Tut... tut… tut… Kau boleh bilang ini karto’ atau apa, tapi ini benar. Hei, karena aku seorang busphobia, aku sempat takut kalau kereta api juga jadi phobiaku. Tapi tidak, kawan! Aku bukan seorang trainphobia yang akan mabuk setiap kali naik kereta api. Aku bisa menguasainya! Huahaha… Aku tidak muntah! Sekarang kau harus tunduk pada rajamu! Huahahaha… Memang suasana di kereta api sangat jauh berbeda dengan suasana di bus. Belum lagi soal pedagang yang terus bolak-balik dari gerbong satu ke gerbong lain kemudian kembali lagi dan seterusnya. Sesaat terkadang mereka beristirahat sejenak dengan diam di suatu tempat karena lelah mengumandangkan dagangan yang mereka bawa. Setiap berhenti di stasiun selalu ada saja pedagang baru. Jadi, kemarin ada yang bilang, “yang jualan lebih banyak daripada yang beli”. Tapi, kereta api adalah kendaraan yang harus saya coba lagi.
Sekarang, aku kembali berharap pada lembaran lama yang baru beberapa hari lalu kututup. Walaupun masih ada yang kuharapkan dari dia, tapi mustahil. Aku tau dia sangat berlawanan denganku. Makanya, aku tidak mau lagi terlibat dengannya. Tapi, sekarang malah kembali menggumpal perasaan itu. Padahal aku masih ingin terfokus pada yang lain. Tapi, lupakan dia, Arema! (ndx bisa).

Arema : Horas!_Horas!

No comments:

Post a Comment