Monday, September 27, 2010

Pintar


22:31 WIB
Thursday, June 24th ‘10th


Sudah lama kusadari bahwa mungkin aku pandai menilai sifat seseorang. Walaupun sebenarnya aku paling tidak suka menilai seseorang, terutama jika harus diumbarkan. Bukannya sombong, tapi aku memang bisa langsung menebak karakteristik seseorang hanya dengan memperhatikan logatnya. Seperti tadi, ketika aku berbicara dengan seorang pria kelas 3 SMA yang bersekolah di salah satu SMA Plus di Sibolga. Lewat style dia bicara, aku bisa langsung menebak kalau dia itu orang yang pintar. (tapi aku bisa langsung menangkap bahwa dia adalah orang yang mudah sekali sombong hanya karena kelebihan kecil yang dimilikinya). Maaf kalau tebakanku salah. Tapi jika dia bukan orang yang pintar, bagaimana bisa dia masuk di SMA Plus? Bukan orang sembarangan yang bisa masuk ke sana. Selain itu, aku selalu merasa deg-degan kalau bicara dengan seorang yang pintar. Aku juga merasa senang memiliki lawan bicara orang pintar, meskipun terkadang malu karena kamus di otakku masih sangat terbatas sehingga banyak kata-kata yang tak tertafsirkan. Tapi aku senang karena mereka adalah orang yang berani bicara. Aku harus mentransplantasi sifat itu ke dalam diriku agar tak selalu ketinggalan informasi gara-gara malu bertanya.
Hal yang kusukai dari kepintaran adalah bagian dimana aku menginginkannya. Aku ingin menjadi orang pintar. Karena dengan pintar aku bisa mengeksplor langit. Dengan pintar aku bisa berdiri di atas bumi dengan satu jari. Dengan pintar aku bisa membaca 10 komik dalam 1 jam. Dengan pintar aku bisa punya banyak uang. Dengan pintar aku bisa makan nasi goreng, bakso, atau apapun yang aku suka tanpa perlu mengemis pada orang lain. Dengan pintar aku bisa membalikkan takdir menyedihkan keluargaku menuju kebahagiaan tak berujung. Dengan pintar aku bisa memberikan apapun yang diinginkan oleh ayah dan ibuku, serta adik-adikku. Dan yang terpenting, dengan pintar aku tidak akan kebingungan menghadapi gejolak hidup yang tak ada habisnya menghujani diri ini. Semua bisa aku dapatkan dengan menjadi pintar. Tapi, dengan pintar pula aku seharusnya tak perlu memikirkan hal-hal bodoh seperti itu.
Aku punya sesuatu, entah ini bisa disebut sebagai salah satu kepintaranku atau tidak. Akau mulai merasa bahwa aku bisa merasakan sesuatu yang akan terjadi sesaat sebelum sesuatu itu terjadi. Tidak sepenuhnya, sih. Dia hadir dalam bentuk firasat. Maksudku, sebelum sesuatu itu terjadi, aku sudah merasakannya. Aku punya firasat akan terjadi suatu hal, dan ke depannya memang benar terjadi. Aku tak mau menceritakan contoh konkretnya, karena kalau kulakukan aku akan kehabisan waktu. Apa itu hal biasa? Tapi, kalau menurutku bukan. Ini seperti yang ada dalam film Déjà vu. Bedanya, dalam Déjà vu, tokohnya bisa melihat bayang-bayang masa depan, sedangkan aku hanya berupa firasat. Inikah yang dimaksud dengan reinkarnasi dalam pemaknaannya terhadap déjà vu? Ah, entahlah! Anggap saja ini sebagai salah satu kepintaranku.

Arema : Aku,_pintar???

No comments:

Post a Comment